Tugas Ulama di Masa Krisis

Peran para ulama di Indonesia saat ini masih belum memberikan solusi berarti bagi permasalahan bangsa. Hal ini diakui oleh KH. Makruf Amin di sela-sela perhelatan Munas MUI ke-9 di Surabaya baru-baru ini. Menurutnya, MUI sebagai representasi para ulama baru memiliki kemampuan untuk menghimbau. Tak kurang tak lebih. Bahkan dalam sambutannya, Presiden Jokowi lebih menyempitkan peran MUI itu hanya sebagai motivator saja. Presiden mengungkapkan harapannya agar MUI memandu dan membangkitkan optimisme umat di tengah melemahnya kondisi ekonomi tanah air. Pernyataan presiden tersebut, tidak mustahil, malah menjadi pembenaran tesis kaum Marxis bahwa agama adalah candu masyarakat. Agama difungsikan sebagai pengalihan dan pelarian dari permasalahan hidup. Hal ini tentu saja sangat menyimpang mengingat peran yang seharusnya dimainkan oleh para ulama. Tulisan ini akan menjelaskan apa yang seharusnya dilakukan oleh para ulama di tengah gelombang krisis.
Pewaris Nabi
Dalam ajaran Islam, ulama menempati posisi sentral. Kata Rasulullah Saw: “Ulama adalah pewaris para nabi. Nabi tidak mewariskan dinar dan tidak juga dirham, melainkan mereka hanya mewariskan ilmu”. Rasulullah juga memposisikan para ulama laksana bintang yang menjadi tempat umat mendapat bimbingan dan petunjuk. Maka dalam sejarah Islam ulama memegang peran yang sangat vital. Ketika Abu Bakar menjadi pemimpin politik, maka Umar bin Khatab ra, Ali ra dan sebagainya menjalankan peran ulama yang aktif menasehati dan mengontrol penguasa. Begitu juga ketika Umar ra menjadi penguasa, para sahabat lain menjalankan fungsi kontrol dengan sangat efektif. Sebagai pewaris Nabi, para ulama bertanggung jawab untuk menjaga dan melanjutkan fungsi ini.
Said Hawwa, ulama asal Syiria, menjelaskan bahwa peran para Nabi ada tiga: Tadzkirah, Ta’lim dan Tazkiyah. Tadzkirah artinya memberi peringatan. Dalam bahasa Al-Qur’an tadzkirah dicerminkan dalam bentuk memerintahkan yang baik dan mencegah yang munkar (Qs. Ali Imran: 110). Medan tadzkirah sangat luas, termasuk dalam bidang ekonomi. Jika ada suatu kebijakan ekonomi yang keluar dari aturan Islam atau menyusahkan umat, para ulama harus segera angkat bicara. Di ambang terjadinya krisis ekonomi, para ulama seharusnya segera menyampaikan catatan-catatan kritisnya.
Ta’lim artinya mengajar. Di dalamnya terkandung makna mendidik dan mengembangkan potensi umat. Apa yang diajarkan Nabi? Al-Qur’an menjawab bahwa tugas Nabi adalah mengajarkan Al-Qur’an dan Hadits (Qs. Ali Imran: 164). Keduanya adalah seperangkat pedoman yang diberikan Allah Swt dan Rasulullah Saw untuk meraih kehidupan yang baik di dunia dan akhirat.
Orang yang terdidik dengan al-Quran dan Hadits akan tampil sebagai penyelamat umat dari krisis. Mari kita tengok teladan Usman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf yang menyelamatkan ekonomi umat Islam dengan sedekahnya. Keduanya mampu membalikkan ekonomi di Madinah yang sebelumnya ada di bawah penguasaan kaum Yahudi ke tangan umat Islam.
Hingga saat ini, proses ta’lim yang dilakukan oleh para ulama masih tersebar di wilayah pinggiran, di pesantren-pesantren yang jauh dari pusat kekuasaan negara. Upaya pendidikan di pusat-pusat kota dirasa masih kurang maksimal. Masih kalah oleh hingar bingar tempat-tempat hiburan seperti bioskop, mall dan diskotik. Akibatnya, dakwah belum menyentuh para konglomerat. Tak ada kader potensial umat yang rela mengorbankan harta dan asetnya untuk menyelamatkan umat dari krisis. Hal ini menunjukkan lemahnya posisi dan peran ta’lim dari para ulama di hadapan umat Islam sendiri.
Sedangkan Tazkiyah artinya menyucikan atau membersihkan. Imam Al-Ghazali memaknainya sebagai Tazkiyah al-Anfus atau menyucikan jiwa manusia dari sifat-sifat yang mengotorinya. Dalam Al-Quran dinyatakan bahwa orang-orang yang menyucikan jiwanya adalah orang-orang yang beruntung. Sebaliknya orang yang rugi adalah yang membiarkan jiwanya kotor (Qs. Al-Syams: 9-10). Kotoran-kotoran jiwa itu adalah sifat-sifat yang merusak fitrah manusia, seperti cinta dunia, menumpuk harta, iri, dengki, sombong, kikir dan lain-lain. Masih banyak umat Islam yang berlebih secara ekonomi, namun tidak peduli terhadap saudaranya yang miskin. Potensi zakat, infak dan shodaqoh yang sangat besar masih jauh dari tujuan ia disyari’atkan. Menurut Dr. Surahman Hidayat dan Yesi Mariska Indira, peneliti dari PIRAC, sampai saat ini potensi zakat yang termanfaatkan dari umat Islam Indonesia sebesar Rp. 900 milyar. Padahal potensi zakat umat Islam mencapai Rp. 20 triliun. Nilai yang cukup fantastis untuk meningkatkan perekonomian Indonesia. Potensi yang dahsyat ini lagi-lagi tersia-sia akibat umat Islam belum mampu menyucikan dirinya dari sifat-sifat kotor seperti kikir dan cinta dunia.
Dalam kasus BPJS yang sangat dibutuhkan kehadirannya oleh rakyat miskin, peran ulama malah kontraproduktif. Fatwa bahwa BPJS belum sesuai syari’at mengisyaratkan ada unsur haram yang terkandung di dalamnya. Namun, fatwa ini seolah tak bertaji mengingat para ulama tidak memberikan alternatif solusi. Jika BPJS haram, lalu ke mana umat menggantungkan harapannya untuk mendapatkan jaminan sosial?
Teladan KH. Ahmad Dahlan
Dalam buku Teologi Pembaharuan, Fauzan Soleh menyampaikan riwayat yang masyhur tentang KH. Ahmad Dahlan. Diceritakan bahwa KH. Ahmad Dahlan selalu saja mengulang-ulang pelajaran surat al-Ma’un dalam jangka waktu yang lama. Bahkan hingga tidak pernah beranjak kepada ayat berikutnya, meskipun murid-muridnya sudah mulai bosan.
Karena jenuh, salah seorang muridnya, KH. Syuja’ -yang masih muda waktu itu-, bertanya mengapa tidak beranjak ke pelajaran berikutnya. Dahlan pun balik bertanya, “Apakah kamu benar-benar memahami surat ini?”. KH. Syuja’ menjawab bahwa ia dan kawan-kawannya sudah memahami benar-benar arti surat tersebut dan bahkan telah menghafalnya di luar kepala.
Kemudian Dahlan bertanya kembali, “Apakah kamu sudah mengamalkannya?”. Dijawab oleh KH. Syuja’, “Bukankah kami membaca surat ini berulang kali sewaktu salat?”
KH. Ahmad Dahlan lalu menjelaskan maksud mengamalkan surat al-Ma’un bukanlah sekedar menghafal atau membacanya semata, namun lebih dari itu semua. Yaitu mempraktekkan al-Ma’un dalam bentuk amalan nyata. “Oleh karena itu setiap orang harus keliling kota mencari anak-anak yatim, bawa mereka pulang ke rumah, berikan sabun untuk mandi, pakaian yang pantas, makan dan minum, serta berikan mereka tempat tinggal yang layak. Untuk itu pelajaran ini kita tutup, dan laksanakan apa yang telah saya perintahkan kepada kalian.”
Inilah teladan ulama sesungguhnya. Proses tadzkirah, ta’lim dan tazkiyah tak hanya dilakukan di tataran konsep, tapi langsung menyentuh realitas. Mari kita tunggu hasil Munas MUI tahun ini. Semoga lahir konsep tadzkirah, ta’lim dan tazkiyah yang langsung menyentuh realitas umat, khususnya dalam menghadapi krisis yang semakin menggila. Wallahu a’lam.

dimuat di Republika 28 Agustus 2015

link: http://epaper.republika.co.id//main/index/2015-08-28

1 Comments

  1. Ping balik: Tugas Ulama di Masa Krisis | blog insan muhamadi

Tinggalkan komentar